Saat aku berceletuk bahwa tanggal 1 Juni adalah hari lahir Pancasila, seorang temanku tersayang bertanya padaku, "Masih juga toh mikirin Pancasila?"
Pertanyaan yang wajaaaaar sekali, karena Pancasila sudah terlanjur dianggap konsep yang basi dan harus dibuang ('thanks' to the Orde Baru, huh!). Memang pemaksaan dan indoktrinasi itu menyebalkan, dan karena itulah orang jadi bosan dengan Pancasila. Apalagi jika Pancasila dikaitkan dengan kejatuhan Soeharto (yang omong2, sebenarnya juga banyak berbuat baik... cuman control management-nya buruk...) - walah, sepertinya Pancasila itu produk Orde Baru banget yang harus dibuang jauh-jauh...uh-uh-uh! Ingat gak waktu itu alergi banget untuk ngapalin dan nyebutin 36 butir Pancasila? Huek deh. Jadi saya terus terang, sempat juga alergi sama Pancasila. Orde Baru banget seh!
But no. Pancasila bukan produk Orde Baru. Pancasila pun tidak lahir pada tanggal 1 Juni 1945 pada saat Bung Karno dkk meluncurkan ide brilian tersebut. Bukan. Tanggal 1 Juni 1945 bagi saya adalah 'hari peluncuran atau launching Pancasila secara resmi'. Karena, konsep ini (saya tidak ingin menggunakan istilah 'ideologi', what a yucky thing!) adalah konsep lawas yang masih tokcer, lama tapi top.
Pancasila lahir berabad-abad yang lalu melalui berbagai proses pengertian dan apresiasi beragam budaya, adat dan agama di Indonesia (waktu itu namanya masih Nusantara). Pancasila merupakan esensi budaya bangsa, di mana keanekaragaman budaya (sila ke-2) dan pendapat (sila ke-4) dijunjung tinggi, dengan dasar rasa kasih dan perdamaian (sila ke-2), dan demi persatuan bangsa (sila ke-3).
And it's not only that! Kalo kita ditanya, tujuan hidup kita rata2 apa... pasti ada yang nyangkut ke kemakmuran deh. Nah, tanpa berusaha mendoktrinasi dalam post ini, saya mengacu lagi pada sila ke-5 yang berhubungan dengan social welfare, kemakmuran sosial. Yang sebenarnya bisa disangkutpautkan dengan lingkungan hidup juga - ahem, karena tanpa lingkungan hidup yang sehat, kita tidak akan makmur.
Dan di manakah pentingnya sila ke-1? Sepertinya ini retoris, karena bangsa Indonesia selalu percaya pada The Almighty, Yang Tertinggi dan Terbesar, Tuhan Yang Satu Jua. Dan letaknya sebagai yang pertama dalam urutan Pancasila mencerminkan sujudnya bangsa Indonesia pada yang memberikan kehidupan ini.
The thing is... sekarang banyak sekali pertikaian antara anak bangsa karena budaya, adat, agama... beda pendapat... Kita lupa esensi budaya kita, our identity, Bhinneka Tunggal Ika. Kita berbeda, tapi satu jua. Itulah yang bagi saya disebut dengan Indonesia. Warna warni itulah Indonesia, dan saya bangga menjadi bagian di dalamnya.
Bangsa Indonesia, Nusantara, memiliki sejarah yang bisa ditarik tidak hanya 500 tahun lalu, tapi bahkan hingga 2000 tahun sebelum Masehi, which means, sudah sekitar 5000 tahunan sekarang. Gosh, five thousand is a BIG number! Indonesia adalah bangsa yang besar dan berbudaya, dan esensi keindahannya, the very tool and spirit that makes Her survive, ada di dalam kebhinekaan yang satu. Ada di dalam yang namanya Pancasila.
Dan dengan demikian, berakhirlah renungan saya (dan PPIA post pertama saya!), yang tidak berbasis kepentingan politik apapun, wong saya non-partisan student. Saya hanya ingin memberikan pendapat saya... dan rasa cinta saya terhadap sang Ibu Pertiwi. And that may She understands that I never ever will leave Her, tidak pula bahwa saya akan membenci negara lain dan menjadi chauvinis. Karena nasionalisme bagi saya adalah apa yang dikatakan Bung Karno, nasionalisme di taman sari internasionalisme. Nasionalisme yang menyumbang pada perdamaian dunia. Karena kita toh hidup di satu Bumi, satu Langit, dan kita adalah satu umat manusia.
love and blessings,
Icha
© PPIA-JCU